Saturday, September 8, 2007

Sejarah Janger Bali


Pada abad ke-19 sudah dikenal kesenian pertunjukan bernama Andhe-Andhe Lumut dimana lakon utamanya adalah tokoh Andhe-Andhe Lumut. Menurut cerita dari mulut ke mulut, Janger pertama kali diperkenalkan oleh Mbah Darji asal daerah Klembon yang sering mondar-mandir Banyuwangi-Bali. Disitu dia tertarik dengan kesenian Arja dan ditambah perkenalannya dengan seorang seniman bernama Singobali, maka dimulailah pencampuran teater Andhe-Andhe Lumut dengan Arja sehingga lahir kesenian yang disebut Janger ini. Pertunjukan Janger ini pernah dipakai sebagai sarana penyamaran bagi para pejuang kemerdekaan untuk mengelabui Belanda pasca kemerdekaan.

Pada dasawarsa 1960-an, terutama menjelang tahun 1965, Janger di Bali diracuni masalah politik yang mencerminkan adanya pertentangan di tengah-tengah masyarakat. Ada Janger PKI dan ada Janger PNI dan mereka saling sindir. Pakaian penari pun, terutama kelompok pria, mengalami perubahan sesuai dengan situasi saat itu. Janger kelompok pria memakai celana dan sering di tangannya ada pedang. Jadi, gerak tarinya adalah kombinasi dari gerakan silat. Mereka berteriak dengan cara koor: Marhaen menang, Pancasila jaya, itu bagi Janger PNI. Sedangkan janger PKI bernyanyi koor: Sama rata, sama rasa, sosialisme ala Indonesia. Banyak lagi jargon-jargon khas zaman itu, yang saat ini menjadi sesuatu yang menggelikan untuk dikenang.

Janger politik itu tidak lagi bercerita tentang kisah asmara, tetapi kisah keluarga, melalui tembang-tembangnya. Misalnya, Janger kelompok pria bertembang tentang kepergiannya memperjuangkan nasib rakyat, kalau dia meninggal, jangan cari suami yang berlainan partai. Kelompok Janger wanita menjawab dengan tegas, bahwa ia akan melanjutkan perjuangan.

Tetapi tidak semua sekaa Janger terlibat dalam politik praktis. Ada yang netral, namun cara berpakaian dan isi tembang mengikuti perkembangan saat itu. Misalnya, Janger kelompok pria bernyanyi tentang kepergiannya menjadi sukarelawan. Koor yang dikumandangkan selalu diakhiri dengan jargon: Ganyang Malaysia. Janger kelompok wanita bertembang tentang cinta kasih sambil menyiapkan bekal untuk mengganyang Malaysia.

Setelah meletusnya G-30-S/PKI, lama kesenian Janger menghilang. Masyarakat Bali trauma dengan Janger, seolah-olah kesenian itu adalah simbol dari sisi gelap Bali, betapa mudahnya orang Bali diadu-domba dan saling membunuh sesamanya. Janger baru muncul kembali di masa Orde Baru. Dan lagi-lagi Janger menjadi corong politik, kali ini politik pembangunan. Maka ada Janger tentang Keluarga Berencana. Meski kisah-kisah asmara masih ada, tetapi itu hanya sebagai pembuka sebelum masuk ke kisah intinya yaitu propaganda pemerintah tentang keberhasilannya. Orang tentu masih ingat, Gubernur Bali Ida Bagus Oka hampir setiap HUT Pemda Bali mengajak stafnya menari Janger.

Sejarah Janger semestinya diteliti lebih jauh. Kalaupun tak bisa menyeluruh, dimulai dari sejarah Janger lokal. Bagaimana perjalanan Janger Kedaton yang berusia 100 tahun itu, bagaimana perjalanan Janger Peliatan yang termasyur itu. Lagu bagaimana dengan kisah-kisah janger politik yang banyak muncul di Jembrana dan Tabanan di masa lalu. Apa kita harus menunggu penulis asing, seperti halnya tentang Gambuh, untuk membukukan riwayat Janger?

* Putu Setia

No comments: