Sunday, September 23, 2007

Konsep MAMUKUR dalam Kehidupan Umat Hindu Bali

Mamukur merupakan kelanjutan dari upacara ngaben sbg bentuk penyucian atma (roh) fase kedua. Mamukur berasal dari kata bhukur, bhu=alam dan ur=atas. Jadi mamakur adalah penyucian atma agar terlepas dari badan halusnya (suksma sarira) berupa sifat-sifat manusia dan keinginan2nya sehingga bisa menyatu dgn Sang Pencipta menjadi dewa pitara (roh suci). Ritual ini waktu pelaksanaannya tidak harus setelah ngaben, bisa beberapa tahun kemudian tergantung kemampuan, mengingat biaya yg dikeluarkan berkali-kali lipat dari ngaben (could be 10 digit rupiah)

Dalam prosesi mamukur tidak ada jenazah. Maka dari itu perlu dibuatkan simbol2 badan halus dari atma/roh yg akan di-prosesi. Tahapan mamukur sangatlah banyak dan lebih jelimet dari ngaben. Kegiatan pertama adalah menentukan dan membuat lokasi mamukur berupa bale-bale yg dinamai Payadnyan. Payadnyan adalah simbol gunung yg merupakan sthana (rumah) Tuhan dalam hal ini adalah Dewa Siwa sebagai mahadewa. Setelah payadnyan di-pelaspas (diresmikan dgn ritual Hindu), baru dimulai membuat banten (sesajen) sbg sarana upakara mamukur. Prosesi berikutnya adalah Ngangget Don Bingin yaitu mengambil daun beringin di pura Dalem setempat. Jumlah daunnya adalah 11 lembar yg nanti akan dirangkai menjadi simbol badan atau sekah saat ritual Ngajum dilakukan. Sekah ini-lah yg akan disimpan di payadnyan. Sebelum, saat dan sesudah mamukur banyak prosesi nunas tirta (mohon air suci) ke pura-pura utama di Bali sbg saksi dari penyucian roh ini. Upacara puncak mamukur saat Mapurwa Daksina yaitu prosesi sekah yg diarak mengelilingi payadnyan sebanyak 3 kali dituntun oleh seekor lembu putih (kerbau putih). Maksud dari mapurwa daksina adalah perjalanan atma(roh) menuju ke gunung Kailash (rumah Dewa Siwa) dituntun oleh Nandini yg merupakan kendaraan Beliau. Selanjutnya ada upacara persembahyangan bersama karena roh tadi telah menjadi dewa pitara (roh suci) yg disebut Pengaskaran. Malam hari jam 12-an dilakukan upacara Mapralina oleh pendeta sebagai wujud pembakaran kekotoran berupa sifat2 dan keinginan2 manusia yg masih melekat pada atma tadi. Selesai itu baru prosesi Ngeseng yaitu pembakaran sekah yg abunya dirangkai menjadi sekah puspa lingga. Sekah puspa lingga ini selanjutnya dilarung kelaut yg disebut prosesi Nyekah. 3 hari kemudian dilakukan upacara Nyegara Gunung yaitu prosesi dilaut sbg wujud ucapan terima kasih kepada-Nya atas terselesaikannya ritual suci ini sekaligus sbg pemakluman kepada para dewa dan memohon berkah-Nya bahwa leluhur kita telah menjadi dewa pitara (roh suci). Saat nyegara-gunung kita membawa daksina sbg simbol kesucian roh, yg selanjutnya adakan ditanam di pura keluarga tepatnya dibelakang sanggah kemulan yg disebut Ngelinggihang Dewa Pitara. Nah ritual terakhir adalah mepinton ke pura-pura utama di Bali setelah 35 hari. Jika prosesi ini telah dilakukan, maka hutang anak terhadap Bapak/Ibu/leluhur sudah terbayarkan dan dengan kesucian roh/atma leluhur ini dipercayai akan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada keturunannya.

No comments: