Sunday, September 23, 2007

Hari Besar Umat Hindu Bali

Hari Raya Nyepi

Hari Raya Nyepi dirayakan setiap tahun Baru Caka (pergantian tahun Caka). Yaitu pada hari Tilem Kesanga (IX) yang merupakan hari pesucian Dewa-Dewa yang berada di pusat samudera yang membawa inti sarining air hidup (Tirtha Amertha Kamandalu). Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap Dewa-Dewa tersebut.

Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Bhuwana Alit (alam manusia) dan Bhuwana Agung (alam semesta). Rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi adalah sebagai berikut :

1. Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti.

Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga" umat Hindu melaksanakan upacara Butha Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salahg satu dari jenis-jenis "Caru" menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama; Panca Sata (kecil), Panca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).

Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta Kala, dan segala 'leteh' (kotor), semoga sirna semuanya.

Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari; nasi manca warna (lima warna) berjumlah 9 tanding/paket, lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.

Setalah mecaru dilanjutkan dengan upacara pengerupukan, yaitu : menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.

Khusus di Bali, pada pengrupukan ini biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.

Selanjutnya dilakukan Melasti yaitu menghanyutkan segala leteh (kotor) ke laut, serta menyucikan "pretima". DIlakukan di laut, karena laut (segara) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, dan Pemuteran Mandaragiri). Selambat-lambatnya pada Tilem sore, pelelastian sudah selesai.

2. Nyepi

Keesoka harinya, yaitu pada "panglong ping 15" (Tilem Kesanga), tibalah Hari Raya Nyepi. Pada hari ini dilakukan puasa/peberatan Nyepi yang disebut Catur Beratha Penyepian dan terdiri dari; amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Beratha ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit.

Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak (1 oton/6 bulan), lambang ini diwujudkan dengan 'matekep guwungan' (ditutup sangkat ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa (Ngeraja Sewala), upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit).

Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam caka/tahun barupun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni.

Yang lebih penting dari dari pada perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), sesuai dengan Lontar Sundari Gama adalah memutihbersihkan hati sanubari, dan itu merupakan keharusan bagi umat Hindu.

Tiap orang berilmu (sang wruhing tatwa dnjana) melaksanakan; Bharata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadhi (menunggal kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi), yang bertujuan kesucian lahir bathin).

Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu, sehingga akan mempunyai kesiapan bathin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan Hari Raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti dirubah.

3. Ngembak Geni (Ngembak Api)

Terakhir dari perayaan Hari Raya Nyepi adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tangal ping pisan (1) sasih kedasa (X). Pada hari Inilah tahun baru Caka tersebut dimulai. Umat Hindu bersilahturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (ksama), satu sama lain.

Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Caka berakhir pada panglong ping limolas (15) sasih kedasa (X), dan tahun barunya dimulai tanggal 1 sasih kedasa (X).

Lihat Selengkap nya......

Tiga Hutang Suci orang Hindu Bali

Salah satu ajaran dalam Hindu adalah RNA yg artinya hutang, baik itu kepada Tuhan, Guru dan Leluhur. Konsep ini melahirkan sebuah kewajiban suci berupa kesadaran diri bahwa seseorang berhutang besar kepada Bapak, Ibu dan Leluhurnya yg disebut dengan Pitra Yadnya. Salah satu bentuk nyata pitra yadnya di Bali adalah upacara penyucian atma (roh) berupa Ngaben dan Mamukur. Di Bali sulit membedakan antara adat dan agama karena telah terjadi chemistry yg diyakini kebenarannya oleh umat Hindu Bali. Materi yg saya tulis ini adalah ttg keyakinan orang Bali yg sampai hari ini masih dilakuk

Atma atau Roh adalah percikan Tuhan dalam tubuh manusia. Atma tidak dilahirkan dan juga tidak mati. Atma terikat pada badan manusia, karena atma inilah yg memberikan hidup kepada raga/fisik manusia. Badan manusia dibedakan menjadi tiga yaitu Sthula Sarira yaitu badan kasar/raga manusia, Suksma Sarira yaitu badan halus manusia berupa sifat2 dan keinginan, dan Antah Karana Sarira yaitu karma/bekas perbuatan dari atma. Manusia mati, atma tidak ikut mati, melainkan akan kembali kepada sumbernya yaitu Tuhan. Umat Hindu Bali meyakini bahwa pengembalian atma ini harus dilakukan upacara penyucian atma (roh) dengan jalan ngaben dan memukur ini.

Ketika manusia dikatakan mati yg sebenarnya musnah adalah badan kasarnya (sthula sarira) sedangkan badan halusnya (suksma sarira) masih ada. Badan kasar yg dibentuk dari unsur padat, cair, udara, panas dan akasa dikembalikan kepada Tuhan. Tahap ini dilakukan dengan cara ngaben atau pembakaran jenazah. Atma yg mendiami badan tadi disucikan dengan melakukan prosesi ritual yg menggunakan berbagai sarana upakara dan puja mantra pendeta. Prosesi ngaben hanyalah untuk melepaskan atma dari badan kasar (sthula sarira) saja. Untuk melepaskan atma dari badan halus (suksma sarira) mesti dilakukan prosesi penyucian atma tahap kedua yg disebut dengan mamukur. Setelah kedua proses ini dilalui barulah atma manunggal (bersatu) dengan Tuhan menjadi antah karana sarira atau karma perbuatan saja. Karma inilah yg akan mempengaruhi reinkarnasi atma selanjutnya akan menjadi apa dalam kelahirannya kembali. Lebih lanjut mengenai ngaben, mamukur, dan reinkarnasi saya tulis tersendiri dalam artikel yg lain.

Lihat Selengkap nya......

Konsep MAMUKUR dalam Kehidupan Umat Hindu Bali

Mamukur merupakan kelanjutan dari upacara ngaben sbg bentuk penyucian atma (roh) fase kedua. Mamukur berasal dari kata bhukur, bhu=alam dan ur=atas. Jadi mamakur adalah penyucian atma agar terlepas dari badan halusnya (suksma sarira) berupa sifat-sifat manusia dan keinginan2nya sehingga bisa menyatu dgn Sang Pencipta menjadi dewa pitara (roh suci). Ritual ini waktu pelaksanaannya tidak harus setelah ngaben, bisa beberapa tahun kemudian tergantung kemampuan, mengingat biaya yg dikeluarkan berkali-kali lipat dari ngaben (could be 10 digit rupiah)

Dalam prosesi mamukur tidak ada jenazah. Maka dari itu perlu dibuatkan simbol2 badan halus dari atma/roh yg akan di-prosesi. Tahapan mamukur sangatlah banyak dan lebih jelimet dari ngaben. Kegiatan pertama adalah menentukan dan membuat lokasi mamukur berupa bale-bale yg dinamai Payadnyan. Payadnyan adalah simbol gunung yg merupakan sthana (rumah) Tuhan dalam hal ini adalah Dewa Siwa sebagai mahadewa. Setelah payadnyan di-pelaspas (diresmikan dgn ritual Hindu), baru dimulai membuat banten (sesajen) sbg sarana upakara mamukur. Prosesi berikutnya adalah Ngangget Don Bingin yaitu mengambil daun beringin di pura Dalem setempat. Jumlah daunnya adalah 11 lembar yg nanti akan dirangkai menjadi simbol badan atau sekah saat ritual Ngajum dilakukan. Sekah ini-lah yg akan disimpan di payadnyan. Sebelum, saat dan sesudah mamukur banyak prosesi nunas tirta (mohon air suci) ke pura-pura utama di Bali sbg saksi dari penyucian roh ini. Upacara puncak mamukur saat Mapurwa Daksina yaitu prosesi sekah yg diarak mengelilingi payadnyan sebanyak 3 kali dituntun oleh seekor lembu putih (kerbau putih). Maksud dari mapurwa daksina adalah perjalanan atma(roh) menuju ke gunung Kailash (rumah Dewa Siwa) dituntun oleh Nandini yg merupakan kendaraan Beliau. Selanjutnya ada upacara persembahyangan bersama karena roh tadi telah menjadi dewa pitara (roh suci) yg disebut Pengaskaran. Malam hari jam 12-an dilakukan upacara Mapralina oleh pendeta sebagai wujud pembakaran kekotoran berupa sifat2 dan keinginan2 manusia yg masih melekat pada atma tadi. Selesai itu baru prosesi Ngeseng yaitu pembakaran sekah yg abunya dirangkai menjadi sekah puspa lingga. Sekah puspa lingga ini selanjutnya dilarung kelaut yg disebut prosesi Nyekah. 3 hari kemudian dilakukan upacara Nyegara Gunung yaitu prosesi dilaut sbg wujud ucapan terima kasih kepada-Nya atas terselesaikannya ritual suci ini sekaligus sbg pemakluman kepada para dewa dan memohon berkah-Nya bahwa leluhur kita telah menjadi dewa pitara (roh suci). Saat nyegara-gunung kita membawa daksina sbg simbol kesucian roh, yg selanjutnya adakan ditanam di pura keluarga tepatnya dibelakang sanggah kemulan yg disebut Ngelinggihang Dewa Pitara. Nah ritual terakhir adalah mepinton ke pura-pura utama di Bali setelah 35 hari. Jika prosesi ini telah dilakukan, maka hutang anak terhadap Bapak/Ibu/leluhur sudah terbayarkan dan dengan kesucian roh/atma leluhur ini dipercayai akan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada keturunannya.

Lihat Selengkap nya......

TRADISI & BUDAYA DI BALI

Banyak Temple Ceremony Event di Bali
Bulan Juli ini ada beberapa event temple ceremony di Bali. Temple ceremony atau dalam bahasa Bali disebut PIODALAN adalah perayaan ulang tahun pura yg perhitungannya berdasarkan wuku, yang berulang setiap 210 hari sekali. Banyak pura yg melaksanakan piodalan baik itu pura Keluarga, pura Desa maupun pura Kahyangan Jagat (pura utama milik seluruh umat Hindu).


Hari Raya KUNINGAN dan Tradisi MENDAK
Sepuluh hari setelah Galungan, umat Hindu di Bali merayakan hari raya KUNINGAN yg jatuh pada Saniscara Kliwon Kuningan. Kali ini perayaan Kuningan berlangsung Sabtu 7 Juli 2007. Inti hari raya Kuningan sama dengan Galungan sebagai hari kemenangan kebaikan atas kejahatan. Moment Kuningan lebih dipakai sebagai ajang untuk mengheningkan pikiran agar kebenaran kebaikan yg telah didapat bisa tetap langgeng dan bisa dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Pada Kuningan umat akan melakukan persembahyangan di pura kawitan atau pura keluarga masing-masing, kemudian persembahyangan dilanjutkan ke pura desa. Tua muda, laki perempuan, tidak ketinggalan anak-anak kecil pun dengan sukacita berpakaian adat Bali menuju ke pura. Bersamaan dengan perayaan Kuningan, pada hari tsb juga dilakukan piodalan (temple ceremony/ulang tahun pura) di Pura Sakenan dan Pura Taman Pule, yg merupakan pura Dang Khayangan, yaitu pura-pura yg dikategorikan sebagai pura luhur utama yg pernah disinggahi oleh para pendeta suci penyebar agama Hindu di Bali jaman dahulu. Pura Dang Khayangan adalah milik seluruh umat Hindu, siapapun berhak bersembahyang disana tanpa memandang garis keturunan, asal muasal ataupun profesi. Karenanya umat yg datang bersembahyang di kedua pura itu membludak, sampai berhimpit-himpitan. Walaupun perayaan dilakukan selama 3 hari (Sabtu, Minggu, Senin) tetep ajah rame setiap harinya. Tapi ini adalah godaan kalo mau menghadap Tuhan, mesti sabar dan fokus. Hal yg unik yg saya jumpai saat berdesak-desakan menunggu kesempatan untuk bersembahyang adalah tidak ada satupun yg komplain apalagi sampai mundur. Semua tetap semangat dan tidak mau kehilangan posisi antrian.

Nah hari ini Senin 9 Juli 2007 disebut dengan MENDAK, yaitu bersembahyang ke beberapa pura mengiringi para sesuhunan (roh suci) yg diwujudkan dalam bentuk barong. Pura yg biasanya dituju adalah Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem. Ketiga pura ini disebut dgn Khayangan Tiga dan ada disetiap desa. Umat akan berjalan secara berkelompok menuju ke pura-pura tersebut membentuk sebuah prosesi iring-iringan. Ada yg melakukan prosesi ini pagi hari, ada juga yang melakukan sore hari. Prosesi Mendak ini adalah prosesi akhir dari rangkaian hari raya Galungan & Kuningan. Mudah-mudahan dengan aktivitas ritual yg telah dilakukan, Tuhan melimpahkan kedamaian kepada umat manusia, especially di jaman Kali yg notabene adalah jaman kehancuran. Dunia boleh panas akibat global warming, tapi hati manusia harus tetap dingin untuk menyeimbangkannya.

Kenapa Pohon Beringin??
Siapa yg tidak tahu pohon beringin. Pohon besar nan rimbun dengan akar berjuntai kebawah ini adalah jenis tanaman tropis yg banyak bisa dijumpai di Indonesia. Di Bali, pohon beringin banyak dijumpai di tempat-tempat pemujaan, khususnya di Pura Dalem dan Pura Mrajapati (yg lokasinya di kuburan). Penduduk Bali menganggap pohon beringin adalah pohon sakral yg memiliki banyak fungsi dalam ritual-ritual adat dan keagamaan, sehingga pada batangnya sering dililitkan kain kuning atau kotak hitam putih, dan kadang ada canang sebagai sesajen yg dihaturkan. Pertanyaannya adalah kenapa harus pohon beringin?.

Dari literatur yg saya baca dan pendapat seorang pendeta yg saya tanyakan, pohon beringin ternyata memiliki story serta filsafat hidup yg tinggi. Pohon beringin adalah pohon bodi yg tumbuh di surga. Pohon ini adalah pohon kalpataru yg mampu memberikan kebahagiaan bagi yg berada dibawahnya. Ini tidak terlepas dari cerita keberadaan pohon beringin itu sendiri. Diceritakan bahwa Dewi Parwati yg karena kesalahannya dihukum oleh suaminya Dewa Siwa selama 8 tahun untuk membersihkan diri di kuburan dalam wujud Dewi Durga. Setelah menjalani masa hukuman, Dewa Siwa turun ke dunia menjemput Parwati yg saat itu berwujud raksasa Dewi Durga. Siwa pun berubah wujud menjadi raksasa bernama Kala Engket. Rasa rindu ini menimbulkan kama atau nafsu antara Siwa dan Durga. Disebutkan dari kama ini tumpahlah air mani Siwa, yg jatuh dibadan Durga berubah wujud menjadi bhutakala-bhutakali (raksasa), makhluk halus (jin-jin) dan setan. Yg tumpah ditanah menjadi pohon kepuh, pohon beringin, pohon pule. Ketiga pohon tsb merupakan pohon sakral di Bali seperti pule batang kayunya dipakai utk topeng barong/rangda. Sedangkan pohon beringin, daunnya dipakai sarana saat upacara ngaben, upacara mamukur (kelanjutan ngaben), dan ritual-ritual lainnya. Bahkan daun beringin wajib ada dalam komponen pembuatan penjor (tiang bambu yg dihias janur saat hari Galungan).

Pohon beringin berkembang biak secara genetatif melalui biji yg ada pada buahnya. Kalau kita lihat buah beringin hanya sebesar biji kacang tanah. Jika ini dibelah, didalamnya terdapat ribuan butir biji-biji kecil yg besarnya sama dengan sebutir pasir halus di pantai. Sangat sangat kecil. Dari biji kecil inilah tumbuh sebuah pohon beringin yg hidupnya bisa mencapai umur ratusan tahun. Coba lihat bentuk pohon beringin. Batangnya kokoh, daunnya lebat dan rindang yg mampu memberikan rasa teduh bagi yg berada dibawahnya. Panasnya sinar matahari tidak bisa menembus rimbunnya daun beringin, begitu juga air hujan tidak bisa menembus rapatnya daun beringin. Akarnya yg menjuntai kebawah dulu dipakai oleh orang-orang untuk memanjat pohon sekaligus menghindarkan diri dari serangan binatang buas. Singkat kata, kita diharapkan mampu meniru pohon beringin yg berasal dari biji super kecil, dan saat tumbuh menjadi besar mampu memberikan perlindungan dan mengayomi orang yg ada dibawahnya, bahkan semua komponen pohon yg ada memiliki nilai guna positif. Bukan seperti karakter manusia yg setelah menjadi orang besar justru “memakan” orang-orang kecil, bahkan niat menolongpun tidak ada. Alangkah indahnya dunia jika semua manusia bisa menjadi “beringin” bagi manusia lainnya.

LEAK…Kemampuan Spiritual yg Sangat Tinggi
Fenomena tentang LEAK di Bali selalu menarik utk dibahas. Saya mendapatkan sebuah knowledge yg luar biasa dari seorang kawan yg mempelajari dan meneliti tentang leak ini. Berdasarkan kitab-kitab dan pengamatan, kawan yg juga seorang dosen ini menceritakan kepada saya apa dan bagaimana leak itu sebenarnya. Leak adalah kemampuan (siddhi) spiritual yg sangat tinggi.

Lihat Selengkap nya......

Gamelan Bali


Tahun 1970 adalah saat masa penting dalam sejarah perkembangan seni karawitan Bali. Pada waktu itu muncul garapan karawitan kontemporer Bali, garapan karawitan modern yang eksperimental sifatnya namun masih bersumber dan berakar pada musik tradisi.

Awal pertumbuhan karawitan kontemporer Bali ditandai oleh garapan musik berjudul Gema Eka Dasa Rudra karya I Nyoman Astita pada tahun 1979. Dalam garapan karawitan ini Astita mencoba menuangkan interpretasinya terhadap suasana musikal dari serangkaian upacara ritual dalam karya Agung Eka Dasa Rudra di Besakih tahun 1978. Barungan gamelan yang dijadikan dasar adalah Semar Pagulingan yang dikembangkan dengan jalan menambah beberapa buah gong dan kempul, cengceng kopyak, kentungan (alat menumbuk padi), kulkul (kentongan), serta sapu lidi. Dengan alat-alat ini Astita menyajikan sedikitnya 5 warna musik Bali : Semar Pagulingan, Gong Kebyar, Balaganjur, Angklung dan Gong Beri untuk melukiskan jalannya upacara Eka Dasa Rudra.

Di samping memadukan alat-alat gamelan dengan alat-alat yang non gamelan, Gema Eka Dasa Rudra lahir dengan menawarkan dua gagasan baru.

* Pertama dalam garapan dilakukan beberapa perubahan patet gending dan merangkai lagu-lagu yang berlaras Pelog dengan Slendro. Struktur nada gamelan Semar Pagulingan Saih Pitu memungkinkan untuk melakukan semuanya ini. Oleh karena itu dalam kreasi musik ini ada lagu-lagu yang dimainkan dalam patet selisir, patet tembung dan lain-lainnya. Laras Slendro muncul ketika diperdengarkan lagu-lagu gamelan Angklung dan laras Pelog terdengar pada waktu Balaganjur dan Kakebyaran.

* Kedua, sepanjang perjalanan musik Gema Eka Dasa Rudra ini para pemain menabuh atau menyanyi sambil menari. Dengan gerak-gerak yang sederhana, para penabuh mencoba untuk menvisualkan beberapa aktivitas yang terjadi dalam upacara Eka Dasa Rudra yang sesungguhnya. Dengan demikian Gema Eka Dasa Rudra menjadi sebuah sajian musik yang sifatnya audio-visual yang menarik untuk dilihat dan didengar.

Lihat Selengkap nya......

Saturday, September 8, 2007

Musik dan Tari pengiring


Musik dan Tari pengiring

Utamanya menggunakan alat musik Bali, terkadang ditambahkan dengan pengiring alat musik khas Banyuwangi atau rebana (terbang) kunthulan. Pendek kata, iringan musik dapat digabung-gabungkan. Sedangkan lagu-lagu yang dilantunkan kebanyakan lagu-lagu khas Banyuwangi dengan watak vokal yang lebih mirip Mandarin ketimbang Jawa.

Tarian pengiring atau sebagai pembukapun bermacam-macam, bisa tari Pendet, tari Legong, tari Baris dari Bali, ataukah tari-tarian khas Banyuwangi seperti Jejer Gandrung, Jaran Goyang, Seblang dan seterusnya.

Saya secara keseluruhan baru menonton Janger secara langsung sebanyak 2 kali. Pertama di Banyuwangi sendiri, yang berlangsung hingga Subuh, sedangkan yang kedua di Surabaya, namun selesai pada pukul 11 malam. Dan yang ketiga ini saya saksikan di TVRI Surabaya. Kesenian yang mirip ketoprak namun dipoles ala Bali ini sebenarnya sangat khas, karena merupakan pertemuan antara 3 budaya, hanya saja penampilan dari kelompok-kelompok Janger saat ini kian jarang, dan hanya beberapa kelompok saja yang masih sering melakukan pementasan (kalau ada hajatan pernikahan, khitanan atau hari-hari besar).

Diperlukan revitalisasi terhadap setiap kesenian tradisional yang kian ditinggalkan anak mudanya sebagai dampak globalisasi yang mengarah pada westernisasi pada kulitnya saja ini. Jika tidak, maka semua kesenian tradisional hanya akan tinggal sejarah.

Bagaimana Janger menjawab arus perubahan jaman? Itu yang menjadi pertanyaannya, dan jawaban hakikinya ada pada masyarakat Banyuwangi sendiri.
Musik BALI memang eksotis. Banyak musisi dunia yang jatuh cinta dengan budaya Bali dan musiknya. Mulai dari kelompok Fourplay, dengan Bali Run-nya, hingga Midori, musisi asal Jepang dari genre new age yang tampil meditatif di album Bali: Reflections Of A Tranquil Paradise.

Kamis (13/3) pekan lalu, bertempat di Erasmus Huis, Jakarta, kelompok jazz asal Swiss, PoDjama, dan kelompok musik Bali, Saraswati, tampil memukau penonton. PoDjama, yang pernah berkolaborasi dengan musisi-musisi Kuba dan Maroko, mencoba menawarkan sebuah rasa baru: Jazz Meets Gamelan.

Perpaduan ini cukup menarik untuk disimak. Saraswati, yang tampil dengan pendukung lengkapnya, berhasil menunjukan ritme musik Bali -- juga tarian, yang enerjik dan ritmis. Begitu pula PoDjama, yang tampil "malu-malu" mengawinkan konsep diatonik dan konsep musik mayor-minor yang dikenal dalam jazz (musik Barat).

Pertemuan Saraswati dan PoDjama yang sangat singkat -- hanya beberapa hari sebelum pertunjukan, agaknya menjadi salah satu kendala bagi mereka untuk bisa bereksplorasi lebih jauh. "Kami hanya memiliki sedikit waktu. Untunglah kita cepat beradaptasi dan bisa saling mengisi," ujar I.G. Kompiang Raka.

Claude Schneider, gitaris yang didukung oleh vokalis bersuara alto, Anne Florence Schneider, dan pencabik bas Jean-Pierre Schaller, memang berhasil mendatangkan ratusan penonton. Sekalipun roh musik Bali lebih dominan, paling tidak, Claude dan trionya telah mengangkat musik Bali dengan pendekatan yang berbeda. Dan jazz adalah medium yang mereka jadikan alat komunikasi dengan penonton.

Di akhir pertunjukan yang dihiasi oleh 10 komposisi dan dua buah tarian itu, Claude tampak puas. Lalu, mengapa musik Saraswati tampak dominan malam itu? "Kami ingin memberikan kesempatan kepada Saraswati untuk lebih mengekspresikan diri," ungkap Claude yang tertarik untuk mengajak kelompok Saraswati untuk tampil di Swiss.

Komposisi-komposisi yang disajikan malam itu digarap bersama-sama secara marathon. Di antaranya Janger Bali, Gamelan Duo, Ginam, The Power of Love, Manukrawa, dan Danurdara. Dua tarian, yaitu Saraswati dan Goro Merdawa, tampak menyatu dengan konsep musik yang ditawarkan.

Rencananya, seperti diungkapkan oleh Claude dan I.G. Kompiang Raka, proses rekaman dari kolaborasi mereka akan dilakukan mulai 14 Maret. Itulah terobosan menarik yang dilakukan oleh Saraswati dan PoDjama sebelum tampil bareng di Swiss.

Langkah awal pihak Kedutaan Besar Swiss di Jakarta memproduksi acara ini layak diacungi jempol. Swiss memang tak hanya identik dengan keindahan alam dan tradisi perbankannya yang legendaris. Swiss juga punya sebuah kelompok musik bernama PoDjama.

Lihat Selengkap nya......

Sejarah Janger Bali


Pada abad ke-19 sudah dikenal kesenian pertunjukan bernama Andhe-Andhe Lumut dimana lakon utamanya adalah tokoh Andhe-Andhe Lumut. Menurut cerita dari mulut ke mulut, Janger pertama kali diperkenalkan oleh Mbah Darji asal daerah Klembon yang sering mondar-mandir Banyuwangi-Bali. Disitu dia tertarik dengan kesenian Arja dan ditambah perkenalannya dengan seorang seniman bernama Singobali, maka dimulailah pencampuran teater Andhe-Andhe Lumut dengan Arja sehingga lahir kesenian yang disebut Janger ini. Pertunjukan Janger ini pernah dipakai sebagai sarana penyamaran bagi para pejuang kemerdekaan untuk mengelabui Belanda pasca kemerdekaan.

Pada dasawarsa 1960-an, terutama menjelang tahun 1965, Janger di Bali diracuni masalah politik yang mencerminkan adanya pertentangan di tengah-tengah masyarakat. Ada Janger PKI dan ada Janger PNI dan mereka saling sindir. Pakaian penari pun, terutama kelompok pria, mengalami perubahan sesuai dengan situasi saat itu. Janger kelompok pria memakai celana dan sering di tangannya ada pedang. Jadi, gerak tarinya adalah kombinasi dari gerakan silat. Mereka berteriak dengan cara koor: Marhaen menang, Pancasila jaya, itu bagi Janger PNI. Sedangkan janger PKI bernyanyi koor: Sama rata, sama rasa, sosialisme ala Indonesia. Banyak lagi jargon-jargon khas zaman itu, yang saat ini menjadi sesuatu yang menggelikan untuk dikenang.

Janger politik itu tidak lagi bercerita tentang kisah asmara, tetapi kisah keluarga, melalui tembang-tembangnya. Misalnya, Janger kelompok pria bertembang tentang kepergiannya memperjuangkan nasib rakyat, kalau dia meninggal, jangan cari suami yang berlainan partai. Kelompok Janger wanita menjawab dengan tegas, bahwa ia akan melanjutkan perjuangan.

Tetapi tidak semua sekaa Janger terlibat dalam politik praktis. Ada yang netral, namun cara berpakaian dan isi tembang mengikuti perkembangan saat itu. Misalnya, Janger kelompok pria bernyanyi tentang kepergiannya menjadi sukarelawan. Koor yang dikumandangkan selalu diakhiri dengan jargon: Ganyang Malaysia. Janger kelompok wanita bertembang tentang cinta kasih sambil menyiapkan bekal untuk mengganyang Malaysia.

Setelah meletusnya G-30-S/PKI, lama kesenian Janger menghilang. Masyarakat Bali trauma dengan Janger, seolah-olah kesenian itu adalah simbol dari sisi gelap Bali, betapa mudahnya orang Bali diadu-domba dan saling membunuh sesamanya. Janger baru muncul kembali di masa Orde Baru. Dan lagi-lagi Janger menjadi corong politik, kali ini politik pembangunan. Maka ada Janger tentang Keluarga Berencana. Meski kisah-kisah asmara masih ada, tetapi itu hanya sebagai pembuka sebelum masuk ke kisah intinya yaitu propaganda pemerintah tentang keberhasilannya. Orang tentu masih ingat, Gubernur Bali Ida Bagus Oka hampir setiap HUT Pemda Bali mengajak stafnya menari Janger.

Sejarah Janger semestinya diteliti lebih jauh. Kalaupun tak bisa menyeluruh, dimulai dari sejarah Janger lokal. Bagaimana perjalanan Janger Kedaton yang berusia 100 tahun itu, bagaimana perjalanan Janger Peliatan yang termasyur itu. Lagu bagaimana dengan kisah-kisah janger politik yang banyak muncul di Jembrana dan Tabanan di masa lalu. Apa kita harus menunggu penulis asing, seperti halnya tentang Gambuh, untuk membukukan riwayat Janger?

* Putu Setia

Lihat Selengkap nya......

Pencipta Janger Bali


BAGAIMANA gambaran nasib sastra daerah dan pengarangnya, boleh jadi bisa dilihat dari pengalaman I Gde Dharna. Penerima Hadiah Sastra "Rancage" 2000 karena jasa-jasanya dalam mengembangkan bahasa dan sastra daerah Bali itu, tahun ini menerbitkan karyanya Perang Bali.

Kumpulan puisi setebal 52 halaman tersebut memuat lima sajak peristiwa heroik di Bali, masing-masing Perang Jagaraya, Perang Banjar, Perang Kusamba, Puputan Badung, dan Puputan Margarana. Kisah kepahlawanan tersebut sebenarnya sudah banyak diungkapkan sehingga dikenal luas. Tetapi, dengan kemampuannya menggunakan bahasa daerah Bali, I Gde Dharna menuangkannya dengan tutur sajak perjuangan yang kental dengan tebaran semangat dan keteguhan orang Bali mempertahankan harga diri mereka.

Buku yang yang bisa dianggap sebagai pembuka jalan sastra Bali modern itu hanya dicetak tidak lebih daripada 265 eksemplar. Itu pun merupakan ungkapan sikap "toleransi" penerbitnya Sanggar Buratwangi. Katanya, "Kebetulan pemiliknya seorang seniman juga."Dharna sebenarnya berhak memperoleh honorarium atas buku yang baru diterbitkan. Tetapi, seperti umumnya buku sastra, apalagi sastra daerah yang peminatnya sangat terbatas, bukan pengarang yang memperoleh imbalan honorarium. Sebaliknya, atas bantuan sponsor, ia yang kemudian membiayai penerbitan buku tersebut.

"Biayanya sebenarnya hanya untuk 150 buku," katanya. Namun, karena sesama seniman, penerbitnya menambah jumlah buku yang dicetak sebanyak 115 eksemplar. Pantas jika ia menyatakan, "Secara materiil, menjadi pengarang sastra daerah sebenarnya tidak menguntungkan. Hanya karena senang pada sastra."

***

DALAM usianya yang mendekati 70 tahun, I Gde Dharna telah kenyang makan asam garam dalam kehidupan sastra daerah Bali. Semasih duduk di bangku SMP ia sudah berhasil menjadi juara se-Nusa Tenggara dalam menulis puisi Kartini.

Ketika itu wilayah yang kini jadi Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, masih tergabung dalam satu propinsi. Dharna yang berasal dari keluarga miskin, terpaksa meminjam celana panjang milik temannya untuk menerima hadiah tersebut dari Gubernur Bali (waktu itu) Sarimin.

Lahir di Desa Sukasada, 27 Oktober 1930, penerima piagam Dharma Kusumah dari Gubernur Bali itu mengaku, minatnya terhadap sastra sudah tumbuh sejak masih duduk di Sekolah Rakyat. Pada zaman pendudukan Jepang, secara kebetulan gedung perpustakaan daerah yang disebut "Kirtya" dipindahkan dari Singaraja ke desa tempat tinggalnya di Sukasada.

Ia merasa sangat beruntung karena bisa sering membaca naskah-naskah sastra, termasuk naskah yang ditulis di atas daun lontar di perpustakaan tersebut. Perkenalan itu rupanya banyak memberi warna dalam kehidupannya di kemudian hari.

Dharna muda bukan hanya menulis puisi, tetapi juga menulis naskah drama dalam bahasa Bali. Karya pertamanya, Basur, yang dipentaskan pada perayaan Hari Veteran tahun 1958, membuat ia populer dengan panggilan tokoh "Basur". Ia menjadi sutradara sekaligus pemain yang memerankan tokoh Tigaron, anak Basur yang mentalnya terganggu.

Basur yang sebelumnya ditulis dalam bentuk "kidung", adalah nama salah seorang tokoh yang kaya dan sakti namun serakah dan licik sehingga tidak disukai warga setempat. Namun, seperti tema cerita pada umumnya, kejelekan selalu bisa dikalahkan oleh kebaikan. Basur mati dalam adu kesaktian.

Drama delapan babak yang dimainkan selama dua setengah jam itu, tahun 1964 dipentaskan keliling kecamatan di Buleleng. Tahun 1965, sebagai Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), ia banyak menulis naskah drama untuk kelompok teater yang didirikannya, Suriak Uyung (Sorak Tanpa Makna).

***

AYAH tiga anak dan pensiunan karyawan Departemen Perdagangan sejak 1987 itu, selama ini bukan hanya menulis dalam bahasa Bali tetapi juga bahasa Indonesia. Tulisan-tulisannya, baik berupa puisi maupun cerita pendek pernah menghias halaman surat kabar Suluh Marhaen, Nusa Tenggara, Bali Post, Buratwangi, dan Canang Sari.

Buku lainnya yang sudah diterbitkan berupa kumpulan puisi dan dramanya yang ditulis dalam bahasa daerah Bali Kobaring Apine (Kobaran Api). Setelah karyanya yang terakhir Perang Bali, menyusul karya lainnya yang segera diterbitkan Babad Nusantara yang merupakan prosa liris.

Sebagai seniman "serba bisa", Dharna dikenal pula sebagai pemimpin Orkes Keroncong "Murai". Sekaligus sebagai penulis dongeng anak-anak, drama radio, dan sekaligus pengarang lagu.

Masyarakat Buleleng pada umumnya sudah sangat kenal dengan I Gde Dharna. Seminggu sekali, selama satu jam pada waktu istirahat menjelang petang selama lebih dari 18 tahun sejak tahun 1971, I Gde Dharna mendongeng melalui corong radio. Dongeng untuk anak-anak tersebut ternyata juga banyak disukai orangtua.

Mula-mula ia mendongeng di Radio Daerah Pemda Kabupaten Buleleng, namun kemudian pindah ke RRI Buleleng. "Saya berhenti karena sibuk di Koperasi Unit Desa (KUD)," kata mantan Ketua KUD Swadaya, Kecamatan Sukasada, yang dijabatnya selama sepuluh tahun sejak 1987. Tahun 1997 ia mengundurkan diri, tetapi tetap diminta menjadi Ketua Badan Pengawas hingga sekarang.

Walaupun usianya kini sudah senja, tetapi minat dan semangatnya bukan hanya untuk mengembangkan sastra daerah, khususnya sastra daerah Bali. Ia juga memiliki minat dan perhatian terhadap bidang kesenian lainnya. Ia juga dikenal sebagai pemain biola pada Orkes Keroncong "Murai" yang pernah dipimpinnya, dan pencipta lirik lagu pop yang menggunakan bahasa daerah Bali. Misalnya lagu janger, lagu genjek, lagu gegitaan, lagu dolanan dan lainnya.

"Biasanya saya mencipta lagu pada saat tenang di malam hari," kata Ketua Sanggar Embun Pagi yang didirikan tahun 1958 itu.

***

LELAKI yang hingga kini tetap gigih mengembangkan sastra daerahnya ini merasa kecewa karena anak muda setempat lebih suka belajar bahasa asing daripada bahasa ibunya. Bahkan ada anggapan, mempelajari bahasa daerah dianggap lebih sukar. Bagi mereka belajar bahasa asing lebih mudah, dan lebih cepat memperoleh uang atau pekerjaan , misalnya sebagai pemandu turis.

Namun, jika dibanding daerah lain, Bali masih memiliki keuntungan. Bahasa daerah Bali memiliki ikatan yang sangat kuat dengan agama, sehingga walaupun bukan berupa sastra modern, sastra lama dibangkitkan, misalnya dengan geguritan.

Kegiatan ini terdapat hampir di seluruh desa, di mana anak-anak muda dan orangtua berkumpul dalam kelompok yang disebut sesantian. Mereka menyanyikan lagu-lagu geguritan, macepat dan ada lagi yang disebut sekar madya, sekar agung, dan kekawin

Lihat Selengkap nya......