Saturday, September 8, 2007

Pencipta Janger Bali


BAGAIMANA gambaran nasib sastra daerah dan pengarangnya, boleh jadi bisa dilihat dari pengalaman I Gde Dharna. Penerima Hadiah Sastra "Rancage" 2000 karena jasa-jasanya dalam mengembangkan bahasa dan sastra daerah Bali itu, tahun ini menerbitkan karyanya Perang Bali.

Kumpulan puisi setebal 52 halaman tersebut memuat lima sajak peristiwa heroik di Bali, masing-masing Perang Jagaraya, Perang Banjar, Perang Kusamba, Puputan Badung, dan Puputan Margarana. Kisah kepahlawanan tersebut sebenarnya sudah banyak diungkapkan sehingga dikenal luas. Tetapi, dengan kemampuannya menggunakan bahasa daerah Bali, I Gde Dharna menuangkannya dengan tutur sajak perjuangan yang kental dengan tebaran semangat dan keteguhan orang Bali mempertahankan harga diri mereka.

Buku yang yang bisa dianggap sebagai pembuka jalan sastra Bali modern itu hanya dicetak tidak lebih daripada 265 eksemplar. Itu pun merupakan ungkapan sikap "toleransi" penerbitnya Sanggar Buratwangi. Katanya, "Kebetulan pemiliknya seorang seniman juga."Dharna sebenarnya berhak memperoleh honorarium atas buku yang baru diterbitkan. Tetapi, seperti umumnya buku sastra, apalagi sastra daerah yang peminatnya sangat terbatas, bukan pengarang yang memperoleh imbalan honorarium. Sebaliknya, atas bantuan sponsor, ia yang kemudian membiayai penerbitan buku tersebut.

"Biayanya sebenarnya hanya untuk 150 buku," katanya. Namun, karena sesama seniman, penerbitnya menambah jumlah buku yang dicetak sebanyak 115 eksemplar. Pantas jika ia menyatakan, "Secara materiil, menjadi pengarang sastra daerah sebenarnya tidak menguntungkan. Hanya karena senang pada sastra."

***

DALAM usianya yang mendekati 70 tahun, I Gde Dharna telah kenyang makan asam garam dalam kehidupan sastra daerah Bali. Semasih duduk di bangku SMP ia sudah berhasil menjadi juara se-Nusa Tenggara dalam menulis puisi Kartini.

Ketika itu wilayah yang kini jadi Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, masih tergabung dalam satu propinsi. Dharna yang berasal dari keluarga miskin, terpaksa meminjam celana panjang milik temannya untuk menerima hadiah tersebut dari Gubernur Bali (waktu itu) Sarimin.

Lahir di Desa Sukasada, 27 Oktober 1930, penerima piagam Dharma Kusumah dari Gubernur Bali itu mengaku, minatnya terhadap sastra sudah tumbuh sejak masih duduk di Sekolah Rakyat. Pada zaman pendudukan Jepang, secara kebetulan gedung perpustakaan daerah yang disebut "Kirtya" dipindahkan dari Singaraja ke desa tempat tinggalnya di Sukasada.

Ia merasa sangat beruntung karena bisa sering membaca naskah-naskah sastra, termasuk naskah yang ditulis di atas daun lontar di perpustakaan tersebut. Perkenalan itu rupanya banyak memberi warna dalam kehidupannya di kemudian hari.

Dharna muda bukan hanya menulis puisi, tetapi juga menulis naskah drama dalam bahasa Bali. Karya pertamanya, Basur, yang dipentaskan pada perayaan Hari Veteran tahun 1958, membuat ia populer dengan panggilan tokoh "Basur". Ia menjadi sutradara sekaligus pemain yang memerankan tokoh Tigaron, anak Basur yang mentalnya terganggu.

Basur yang sebelumnya ditulis dalam bentuk "kidung", adalah nama salah seorang tokoh yang kaya dan sakti namun serakah dan licik sehingga tidak disukai warga setempat. Namun, seperti tema cerita pada umumnya, kejelekan selalu bisa dikalahkan oleh kebaikan. Basur mati dalam adu kesaktian.

Drama delapan babak yang dimainkan selama dua setengah jam itu, tahun 1964 dipentaskan keliling kecamatan di Buleleng. Tahun 1965, sebagai Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), ia banyak menulis naskah drama untuk kelompok teater yang didirikannya, Suriak Uyung (Sorak Tanpa Makna).

***

AYAH tiga anak dan pensiunan karyawan Departemen Perdagangan sejak 1987 itu, selama ini bukan hanya menulis dalam bahasa Bali tetapi juga bahasa Indonesia. Tulisan-tulisannya, baik berupa puisi maupun cerita pendek pernah menghias halaman surat kabar Suluh Marhaen, Nusa Tenggara, Bali Post, Buratwangi, dan Canang Sari.

Buku lainnya yang sudah diterbitkan berupa kumpulan puisi dan dramanya yang ditulis dalam bahasa daerah Bali Kobaring Apine (Kobaran Api). Setelah karyanya yang terakhir Perang Bali, menyusul karya lainnya yang segera diterbitkan Babad Nusantara yang merupakan prosa liris.

Sebagai seniman "serba bisa", Dharna dikenal pula sebagai pemimpin Orkes Keroncong "Murai". Sekaligus sebagai penulis dongeng anak-anak, drama radio, dan sekaligus pengarang lagu.

Masyarakat Buleleng pada umumnya sudah sangat kenal dengan I Gde Dharna. Seminggu sekali, selama satu jam pada waktu istirahat menjelang petang selama lebih dari 18 tahun sejak tahun 1971, I Gde Dharna mendongeng melalui corong radio. Dongeng untuk anak-anak tersebut ternyata juga banyak disukai orangtua.

Mula-mula ia mendongeng di Radio Daerah Pemda Kabupaten Buleleng, namun kemudian pindah ke RRI Buleleng. "Saya berhenti karena sibuk di Koperasi Unit Desa (KUD)," kata mantan Ketua KUD Swadaya, Kecamatan Sukasada, yang dijabatnya selama sepuluh tahun sejak 1987. Tahun 1997 ia mengundurkan diri, tetapi tetap diminta menjadi Ketua Badan Pengawas hingga sekarang.

Walaupun usianya kini sudah senja, tetapi minat dan semangatnya bukan hanya untuk mengembangkan sastra daerah, khususnya sastra daerah Bali. Ia juga memiliki minat dan perhatian terhadap bidang kesenian lainnya. Ia juga dikenal sebagai pemain biola pada Orkes Keroncong "Murai" yang pernah dipimpinnya, dan pencipta lirik lagu pop yang menggunakan bahasa daerah Bali. Misalnya lagu janger, lagu genjek, lagu gegitaan, lagu dolanan dan lainnya.

"Biasanya saya mencipta lagu pada saat tenang di malam hari," kata Ketua Sanggar Embun Pagi yang didirikan tahun 1958 itu.

***

LELAKI yang hingga kini tetap gigih mengembangkan sastra daerahnya ini merasa kecewa karena anak muda setempat lebih suka belajar bahasa asing daripada bahasa ibunya. Bahkan ada anggapan, mempelajari bahasa daerah dianggap lebih sukar. Bagi mereka belajar bahasa asing lebih mudah, dan lebih cepat memperoleh uang atau pekerjaan , misalnya sebagai pemandu turis.

Namun, jika dibanding daerah lain, Bali masih memiliki keuntungan. Bahasa daerah Bali memiliki ikatan yang sangat kuat dengan agama, sehingga walaupun bukan berupa sastra modern, sastra lama dibangkitkan, misalnya dengan geguritan.

Kegiatan ini terdapat hampir di seluruh desa, di mana anak-anak muda dan orangtua berkumpul dalam kelompok yang disebut sesantian. Mereka menyanyikan lagu-lagu geguritan, macepat dan ada lagi yang disebut sekar madya, sekar agung, dan kekawin

No comments: